Lagi-lagi tulisan yang late post , tapi tulisan ini tetep saya tulis pada saat momen itu membuncah dalam diri saya *ciyeee.
Bandung, 27 September 2014
Sama sekali tidak pernah terpikir untuk bisa menulis dan tidak berminat dalam dunia tulis-menulis.
Entah mengapa sebuah kemudahan datang begitu saja ketika saya merasa benar-benar terpuruk. Energi negatif yang tumpah ruah. Dan seolah semua yang terjadi serba kebetulan. Tapi kawanku, di dunia ini tidak ada yang namanya KEBETULAN. Semua yang telah, sedang dan akan terjadi adalah skenario-Nya.
Hari ini, lagi-lagi Dia memberikan sebuah pelajaran berharga. Menikmati syukur tiada henti dari Sang Pencipta.
Saya diberikan kesempatan untuk menikmati sejuknya udara dingin Kota Bandung di sebuah taman, Taman Lansia namanya. Ini kali pertama saya berkunjung ke taman. Dan wow, ternyata menyenangkan.
Semua tampak serba menyenangkan, suasananya, ekspresi para pengunjungnya. Semua tampak cerah dan ceria. Itu yang tampak dari luar sih. Lagipula siapa peduli dengan apa yang terjadi dalam diri kita. Betul kan?
Singkat cerita, hari ini merupakan farewell session dari Kelas MDH Batch 3. Sedih sekali rasanya, saya menemukan banyak pengalaman yang menyentuh nurani dan membuat saya jujur kepada diri sendiri.
Tapi bukankah setiap pertemuan pasti ada perpisahan?
Pada session ini, seluruh peserta diberikan challenge yang diberikan sungguh menantang maka dinamakan "Survival Writter". Sungguh keren bukan tittle-nya. Disini para peserta dituntut peka terhadap apa yang ditemukan dari para stranger dan harus bisa menuangkannya dalam sebuah tulisan "bernyawa".
Duh, sungguh sulit bagiku. Bagi seorang introvert seperti saya, menyapa orang asing membutuhkan usaha yang keras. Oke, mau tak mau saya mencobanya dan yipiiii berhasil. Walaupun tak terlalu baik.
Awalnya, saya bingung untuk memulai tantangan ini dengan strategi macam apa. Saya hanya mengamati sekeliling dan terlihat di dekat parit beberapa orang bapak-bapak sedang merapikan kardus.
Mereka adalah pemulung.
Takut? sedikit. Tapi tak disangka mereka sungguh ramah dan begitu terbuka.
Kisah pilu dan mengharukan mengalir begitu saja dari mulut mereka. Bukan mengobral rasa prihatin tapi itulah kehidupan mereka. Mereka jujur dengan apa yang dirasakan. Tak ada kepura-puraan untuk mengungkapkan jati diri.
Satu kata yang begitu menusuk hati saya adalah SAMPAH. Manusia tak berguna, tak berpendidikan, bodoh dan itulah julukan yang sering dilontarkan pada mereka. Ah, sudahlah tak berguna membahas sebutan menyakitkan itu kawan.
Namun ini nyata adanya, kebanyakan orang menganggap mereka rendah. Menjijikkan.
Bukankah kita sama-sama manusia?
Bukankan lebih bermartabat mereka yang mencari nafkah walau mengais sampah, dibandingkan para koruptor berdasi?
Kita terkadang hanya menilai sesuatu dari apa yang kita lihat. Bukankah isi hati seseorang tak ada seorangpun yang tahu?
Duhai kawan, biarlah orang menilai sesuka hati mereka, tapi jangan sampai kita dinilai buruk oleh Sang Khalik.
Duhai kawan, biarlah peluh ini bercampur dengan bau-nya kerja keras. Yang terpenting Allah ridho.
Bukankah yang kita cari hanyalah Keridhoan-Nya?
Ya Allah.. Terima kasih telah merancang sebuah skenario indah atas diriku. Saya sekarang mengerti bagaimana memaknai kehidupan.
Tak ada satupun yang tak Engkau atur, bahkan gugurnya selembar daun pun telah Kau atur. Saya yakin selalu ada hikmah dari rencana besar-Mu.
RiaRahma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar